Minggu, 02 Oktober 2011

Indonesia negriku, Indonesia bangsaku - jeritan hati seorang anak bangsa

pagi ini, gue mendengar lagi satu kabar yang menurut gue cukup memprihatikan. Anak di dekat rumah gue putus sekolah. dan lagi-lagi karena masalah biaya. Entah apa yang salah dengan bangsa ini, bangsa Indonesia sangat kaya. Bangsa yang sebenarnya banyak dilirik oleh bangsa lain karena kekayaan alamnya. Sang wakil rakyat yang katanya mau memperjuangkan rakyat miskin, ketika diatas, terlalu nyaman dengan kursi mereka yang membuat lupa diri.
Pemerintah terlalu sibuk mengeluarkan anggaran untuk hal yang gak penting. Korupsi yang mendarah daging. banyak orang bersorak ketika pemerintah mengeluarkan tentang progam BOS.Tapi, pada kenyataanya , di lapangan, sekolah masih membandel dengan meminta uang ini itu.
Lain dengan kalangan atas negeri ini, sekolah bertaraf Internasional, dengan gedung yang bagus dan uang sekolah yang fantastis.
kalangan bawah hanya bisa menggigit jari melihat kemewahan. anak-anak hanya bermimpi untuk bisa sekolah, mengenyam pendidikan. disaat anak" kalangan atas sedang asik berlajar di dalam ruangan ber AC, atau malah tidur disana, anak kalangan bawah malah sedang mencari sesuap nasi dengan mengamen atau memulung.
ketika di daerah, banyak sekolah murah, tapi, tidak sesuai kualitasnya. gedung sekolah yang rusak, anak yang belajar dengan rasa takut dan was-was.
terlalu bnyak penyakit di Negeri ini.
Sekarang, harusnya pemerintah bersyukur, mulai banyak generasi muda yang peduli dengan nasib anak bangsa. harusnya pemerintah menyokong kegiatan mereka, membantu mereka.
karena kalau bukan kita yang membenahi bangsa ini, siapa lagi?

Selasa, 09 Agustus 2011

life-1

setiap orang pasti pengen sukses. Ada yang mulai dengan meniti karir ato memulai usahanya sendiri. Biasanya nih ada aja pedagang "jahil" yang pengen sukses dengan cepat dan instan. hal gini nih yang paling gue gak suka dan gue benci. Membuat orang lain bangkrut atau gulung tikar karena mereka takut tersaing. gue pernah ngalamin di pihak korban. satu hal yang buat gue bertanya ,"kok ada aja ya orang kyk gitu?" rejeki kan masing2.  cukup tau lah kadang sama orang kyk gtu. jgn pernah aja kita lakuin hal yang sma ke orang itu. gak boleh dendam. Tuhan pasti ngebales. Amin. 

Kamis, 04 Agustus 2011

#kangen SMA

waktu gue sekolah dulu, gue mendambakan bgt yang namanya libur, setelah gue dapat libur "selamanya". gue malah jadi pengen sekolah lagi, sibuk sama nyalin tugas pagi" ato istirahat. belajar sebelum ulangan. curi waktu buat tidur di kelas, main kartu di kelas, bahkan cabut pas jam pelajaran.gak kerasa bgt udah selesai sekolah gue. pengen lah sekolah lagi, ketemu tmn" lg, apalagi pas ujian praktek, brg tmn" gue. sibuk soal perpisahan sm foto YB, guru sos gue yg kocak. kangggeeeeeeeeeeeeeeennnnnnnnnnnn bangeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeetttttttttttttttttt SMA!!!! 

Rabu, 03 Agustus 2011

Bulan dan Bintang

Niken melangkah masuk menuju gedung sekolah. Sambil tersenyum, Niken melirik jam tangan yang ia kenakan. 06.20. Masih pagi. Kantin dulu ah, pikir Niken dalam hati. Niken berbelok ke arah kanan sekolah. Pergi menuju kantin.
“Eh, non Niken. Pagi Non.” Sapa Mang Ujang.
“Pagi, mang. Cappucino dong satu. Ngantuk nih.” Balas Niken.
“ Sip non. Bentar yah.” Jawab Mang Ujang.
Niken memang dekat dengan Mang Ujang. Salah satu penjual kantin di sekolahnya itu.
“Nih, non. Cappucinonya.” Kata Mang Ujang
“Makasih ya. Biasa kan?!” Balas Niken sambil memberikan uang lima ribuan dari sakunya.
“Belum ada kembaliannya non. Nanti aja deh.” Balas Mang Ujang.
“Ambil aja mang kembaliannya.” Kata Niken seraya pergi membawa gelasnya.
“Makasih ya non.” Kata Mang Ujang seraya berteriak.
“Iya.”
Niken melangkah menuju kelasnya yang sudah mulai ramai. Niken meletakkan tasnya di meja dan mulai meminumnya. Seorang perempuan menghampirinya. Tia. Sahabatnya sejak kecil.
“Pagi-pagi udah minum Cappucino. Kayak abang gue lu.” Kata Tia.
“Ngantuk tau. Daripada gue tidur di kelas.” Balas Niken.
“Bukannya emang biasa tidur lu. Kan lu sejenis kebo.” Ledek Tia.
“Sialan lu.”
Mereka tertawa bersama. Melupakan kejenuhan mereka di sekolah. Sekolah mereka tinggal beberapa hari. Ujian sudah terlewatkan. Namun, guru masih masuk ke kelas dan membahas soal ujian karena beberapa murid harus melaksanakan perbaikan. Niken dan Tia tidak perbaikan sama sekali. Namun, sermua anak tetap diwajibkan masuk dan berlajar seperti biasa. Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Anak-anak berlarian menuju tempatnya masing-masing. Niken meminum habis Cappucinonya dan membuang gelas plastiknya. Dia kembali ke tempat duduknya. Mengeluarkan bukunya dan memasukkan tasnya ke dalam laci meja.
“Nik, bosen nih.” Celetuk Tia selang setengah jam pelajaran berlangsung
“Sama.”
Niken mulai bosan dengan pelajarannya. Ia mulai menggambar di bukunya dengan beberapa gambar. Pelajaran pertama matematika. Bu Ros hanya mencatat semua jawaban ulangan kemarin, sambil sesekali menjelaskannya. Sekejap saja, papan tulis itu sudah penuh dengan rumus. Niken dan Tia mulai mencatat sambil sesekali mengobrol dan bercanda. Tiba-tiba hp Tia berbunyi menandakan ada pesan masuk. Niken langsung menyuruh Tia mematikan handphonenya dan menyalakan handphonenya sendiri.
“Hape siapa yang bunyi?!!!” Tanya Bu Ros dengan kencang.
Bu Ros memang terkenal galak. Apalagi, jika ada anak yang berbuat salah, ia akan suka menyinggung kesalahan tersebut walaupun sudah lama berlalu dan dia akan sangat benci dengan anak tersebut..
“Hape siapa yang bunyi?!!” Tanya Bu Ros lagi.
“Saa....ya... Bu.” Jawab Niken sambil berdiri dan menunduk agar aktingnya lebih meyakinkan.
Niken tahu Tia baru membeli handphone itu. Dengan uang tabungannya selama berbulan-bulan. Tia bingung dengan yang dilakukan sahabatnya itu.
“Mana hapemu?” tanya Bu Ros.
“Hape saya yang bunyi Bu, bukan hape niken.” Kata Tia ikut-ikutan berdiri.
“Kalian mempermainkan saya ya?!!” tanya Bu Ros
Niken memberi isyarat supaya Tia duduk diam. Namun, Tia hanya memandangi Niken dengan tatapan “ngapain-sih-lu?” Niken hanya memoloti Tia balik.
“Enggak. Bu. Hape saya yang bunyi.” Kata Niken.
“Enggak Bu. Sebenernya kami berdua lagi main hape.” Bela Tia dengan memandang ke bawah. Ni8ken yang mengerti jalan pembicaraan Tia, ikut langsung menimpali.
“Iya, Bu. Gak tahunya hape saya bunyi. Maaf Bu.” Lanjut Niken dengan muka menyesal.
“Keluar kalian!!! Tunggu saya sampai jam pelajaran selesai dan berikan hapenya pada saya. Keluar sekarang!!! Dan kamu Niken, ibu sangat kecewa dengan sikap kamu.”
“Maaf, Bu.”
Niken dan Tia keluardari kelas dan duduk di teras kelas.
“Lu ngapain sih, Nik? Itu kan salah gue. Dodol.” Kata Tia.
“Gue gak rela hape lu kena sita. Kan baru, udah gitu lu belinya pake perjuangan lagi.” Balas Niken
“Tapi, gak gitu juga caranya. Hape lu kan jadi kena sita.”
“Gak apa-apa. Akhir tahun kan bentar lagi. It’s okay.” Balas Niken sambil merangkul Tia.
“Nik, gue sayang sama lu. Lu sahabat gue yang paling gue sayang. Makasih banyak ya. Gue sayang banget sama lu. Sahabat gue yang paling baik.” Kata Tia sambil memeluk Niken.
“Iya. Gue juga sayang sama lu.”
“Yeah. We are BFF.”
“Lu tau gak ya? Gue sayang lu, bonyok, sama Kak Dion. Kalian punya andil besar dalam hidup gue. Gak tau kenapa ya. Sekarang gue kangen banget sama bonyok gue. Gue pengen meluk mereka pas mereka baru pulang dari Bandung siang ini.” Kata Niken dengan tatapan kosong.
Tia hanya bisa memandang sahabatnya itu sambil mengelus punggungnya. Entah mengapa, Tia merasa akan ada kejadian buruk menimpa sahabatnya itu. Tia menggenggam erat tangan sahabatnya itu. Tak lama kemudian, Bu Farida, guru bimbingan dan konseling masuk ke dalam kelas mereka dan berbicara dengan Bu Ros.
“Niken, kamu beresin barang kamu sekarang dan ikut Bu Farida. Ini hape kamu.” Kata Bu Ros, suaranya mulai melunak.
“Ibu, saya rasa Tia juga ikut. Niken pasti membutuhkan dia.” Kata Bu Farida.
“Baik, Tia, Niken. Bereskan barang-barang kalian sekarang dan kalian ikut Bu Farida.” Kata Bu Ros.
Niken dan Tia hanya berpandangan sebentar. Mereka segera membereskan barang-barang dan mengikuti Bu Farida hingga sampai di ruang Bimbingan Konseling. Bu Farida menyuruh mereka duduk.
“Niken, barusan ada telpon dari kakak kamu. Kedua orangtua kamu, nik....”
“Kedua orangtua saya kenapa Bu?” Tanya Niken. Tia hanya merangkul sahabatnya itu.
“Orangtua kamu meninggal dalam kecelakaan tadi pagi. Mobil orangtua kamu masuk jurang. Dan seketika orang tua kamu meninggal.” Kata Bu Farida sambil berdiri.
Niken mulai menangis. Tia pun ikut menangis. Mengingat bahwa Niken sangat sayang dengan keluarganya. Dan kedekatannya dengan keluarga Niken.
“Ibu bohong kan sama saya?! Iya kan bu?! Bilang Bu.” Teriak Niken. Bu Farida hanya diam. “Bilang Bu!!! Bilang kalau Ibu bohong!!!”
“Maaf, nak. Itu kenyataannya. Kamu harus tabah ya.”
Niken terduduk lemas. Tia langsung memeluk Niken erat. Niken menangis sejadi-jadinya di pelukan Tia
“Nik, lu mesti kuat ya. Ada gue, kak Dion yang masih sayang sama lu.” Kata Tia.
Tia bertanya kepada Bu Farida dimana kedua orangtua Niken disemayamkan. Setelah mendapat izin dari Bu Farida, Tia membuka tas Niken dan mengambil kunci mobil. Mereka menuju lapangan parkir dengan diantar Bu Farida. Tia berinisiatif untuk menyetir. Selama perjalanan, Niken terus menangis. Tia tidak bisa berbuatbanyak. Selain sesekali mengeluas kepala dan pundak Niken. Niken merasa hancur. Sangat hancur. Mereka udah gak ada. Mereka yang gue sayang, pikir Niken.
“Nik, kita udah mau nyampe. Lu mesti kuat ya.”
“Ya. Gue sedih banget Ti. Gue sayang banget sama mereka.”
Tia memarkir mobil. Tia merasa beban kesedihan yang merasuki jiwa dan perasaan sahabatnya itu. Tia membukakan pintunya bagi Niken. Tia mengenggam erat tangan Niken. Dengan mata yang sembab, Niken masuk ke dalam ditemani Tia. Mereka masuk ke dalam salah satu ruangan. Keluarga Niken sudah banyak yang datang. Niken dan Tia melihat ke arah dua peti yang berdampingan.
“Ma, bangun Ma. Mama jangan tinggalin Niken ma.” Teriak Niken sambil mengguncangkan tubuh mamanya. “Pa, bangun Pa!”
Tia hanya bisa menangis dan menghampiri Niken.
“Nik...” kata Tia sambil memeluk Niken.
Tangis Niken pecah. Tia mengelus punggung Niken. Kak Dion menghampiri mereka.
“Kak, aku turut berduka cita.” Ujar Tia sambil terisak.
“Iya. De, kita harus kuat ya.” Kata Kak Dion.
Dion memang terlihat lebih tegar daripada adiknya. Namun, di hatinya ia merasa sangat hancur. Tia meninggalkan Niken dan Dion. Mehubungi kedua orangtuanya.
“Halo, ma.” Ujar Tia masih dengan terisak-isak.
“Kenapa sayang? Kok kayaknya kamu habis nangis.”
“Kedua orangtua Niken meninggal, ma. Mereka kecelakaan. Tolong bawain aku baju, ma. Aku mau nemenin Niken, ma.”
“Ya ampun. Mama turut berduka cita ya. Nanti mama kesana ya. Bajunya Niken mau dibawa gak?”
“Ehm, boleh deh Ma. Soalnya kayaknya dia gak pulang deh.”
“Oh,ya udah. Sekalian Mama bawain kamu makanan. Dimana tempatnya?”
“Nanti aku sms mama alamatnya. Mama langsung kesana.”
“Makasih, Ma.”
Tia menutup teleponnya. Tia masuk ke dalam supermarket. Dia membelikan sekaleng Cappucino kesukaan Niken dan biskuit. Tia langsung kembali ke rumah duka. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Tia duduk di sebelah Niken.
“Nik, makan dulu biskuitnya. Buat ganjel perut.”
“Gue gak laper.”
“Okay-okay. Kalo mau, tinggal makan ya.”
“Iya. Kunci mobil mana?”
“Lu mau ngapain?”
“Gue mau jalan-jalan. Mau ringanin otak dulu.”
“Perlu gue temenin?”
“No,thanks. Gue janji sebelum jam enam gue udah balik.”
“Be careful.” Kata Tia sambil menyerahkan kunci mobil.
Niken berjalan menuju mobilnya. Dengan mata yang bengkak, Niken menyetir. Niken terus menyetir, hingga melewati jembatan. Ia mematikan mesin dan turun. Jembatan tersebut cukup sepi. Ia duduk di kap mobil. Kenapa sih mesti gue yang nerima semua ini? Kenapa mesti gue sama Kak Dion? Kenapa gak orang lain aja?, Jerit Niken dalam hati. Tangis Niken pecah. Pemandangan dari atas jembatan cukup indah. Matahari yang mulai terbenam terlihat jelas dari atas jembatan. Namun, itu semua tidak mempengaruhi Niken. Hatinya sangat hancur. Niken memejamkan mata. Berharap itu semua hanya mimpi. Dan ketika ia membuka mata. Ia berharap orangtuanya masih ada. Namun itu semua telah menjadi takdir. Takdir yang buruk yang harus dilewatinya. Ia berteriak. Berteriak sekuat tenaga. Sampai lehernya terasa sakit. Mencoba melepaskan kesedihannya. Langit mulai menangis seakan turut merasakan kesedihan yang dialami Niken. Niken membiarkan seragamnya dan tubuhnya basah. Ia melihat jam tangannya. Jam setengah tujuh. Ia ingat akan janjinya kepada Tia yang akan balik ke rumah duka sebelum jam enam. Ia segera bergegas dan mengarahkan mobilnya ke rumah duka. Puluhan misscall dan pesan masuk tertera di layar handphonenya yang sengaja ia tinggal di mobil. Ia mehubungi Tia dan menjelaskan bahwa ia baik-baik saja dan akan segera kembali ke rumah duka.
“Niken. Lu kemana? Baju kok ampe basah gitu. Kan lu bawa mobil.” Tanya Tia dengan nada cemas.
“Kehujanan” Jawab Niken cuek.
Tia langsung meminta handuk pada mamanya, tante Nindy. Tante Nindy yang melihat itu langsung mengelap tubuh Niken dengan handuk. Tia langsung mengambil baju Niken yang bersih dan menyuruh Niken mengganti seragamnya dengan baju bersih. Setelah mengganti seragamnya, Kak Dion menyuruhnya untuk memasukkan baju basahnya ke dalam plastik.
“Nik, tante turut berduka cita ya. Kamu mesti kuat ya.” Ujar Tante Nindy.
“Iya, tante. Makasih ya.”
“Tante udah bawain kamu makanan. Kamu sama Tia jangan lupa makan ya. Kakak kamu juga.”
“Iya.”
Tante Nindy mencium kepala Niken dan langsung pamit pulang karena masih ada urusan. Tia duduk di sebelah Niken .
“Nik, makan dulu yuk.” Ajak Tia.
“Gue gak laper.”
“Makan dulu, de. Kakak baru aja makan.” Kata Kak Dion.
“Belom laper, kak. Nanti kalo udah laper aku makan deh.”
“Ya udah. Kakak urusin pemakaman papa mama dulu ya.”
“Nik, makan dulu ya. Dikit aja.”
“Enggak.”
Tia tetap membuka kotak makan. Dia mengambil sendok dan mulai menyuapi Niken.
“Gak mau Ti. Jangan maksa gue.”
“Ya udah. Kalo laper, bilang gue ya.”
“Iya.”
“Cappucinonya mana? Mau itu aja deh.”
“Ya udah. Nih.” Kata Tia sambil memberikan sekaleng capucino.
“Ti, gue sedih banget.” Kata Niken setelah menenggak habis capucinonya.
“Iya. Gue tahu.”
Niken kembali menangis di pelukan Tia. Tia hanya bisa mengelus pungung Niken. Hampir satu jam, Niken menangis. Kak Dion menghampiri mereka dan mengelus kepala adiknya.
“Jelek, kamu gak boleh nangis terus. Nanti papa sama mama gak tenang disana.” Kata Kak Dion.
“Tapi, kak. Ini tuh tiba-tiba banget.” Kata Niken sambil sesenggukan.
“Bener kata kakak lw Nik. Lu mesti lewatin ini semua.” Sambung Tia.
“Ti, Niken udah makan? Tadi nyokap lu bawa makanan kan?” Tanya Dion.
“Belum kak.” Jawab Tia sambil menggeleng.
“Kamu mesti makan dong de.”
Tiba-tiba Nikien merasa sangat pusing. Pandangannya kabur. Dan semuanya gelap. Dengan suksesnya, Niken pingsan di pelukan Tia.
“Niken kak.... Niken pingsan kak.” Teriak Tia.
“Om Bagus, bantu Dion om”
Om Bagus dan Dion membawa Niken ke dalam mobil. Tia duduk di belakang sambil memegang tangan Niken. Entah mengapa, air mata Tia satu-persatu mulai jatuh. Dion menyetir ke salah satu rumah sakit terdekat. Suster membawanya ke salah satu kamar UGD.
“Dok, adik saya gimana? Dia gak apa-apa kan?” Tanya Dion panik.
“Gak. Anda tenang saja. Adik anda hanya terlalu capai. Ditambah lagi perut adik anda masih kosong. Ini ada resep obat yang harus anda tebus.”
“Oh, iya dok. Terima kasih. Tia, kakak urus administrasinya dulu. Nanti kalau sebelum kakak kembali Tia sudah siuman. Kasih tahu kakak ya.”
“Iya kak. Aku masuk dulu ya.”
Tia masuk ke dalam ruangan. Ia menatap Niken. Wajahnya pucat dan terlihat sangat lemas. Tia duduk di sebelah Niken. Ia memegang tangan Niken. Tia sedih melihat sahabatnya seperti itu. Niken mengeluarkan banyak keringat. Tia cemas. Sepertinya sahabatnya itu bermimpi buruk.
“Nik,bangun Nik.” Ujar Tia sambil mengguncangkan tubuh Niken. Niken bangun dan memeluk tubuh Tia.
“Gue ketemu bonyok Ti. Mereka bilang gue harus mandiri.” Ujar niken sambil mulai menangis.
“Udah dong. Jangan nangis lagi. Nanti bonyok lu gak tenang disana.”
“Iya, Ti. Thanks. Lu selalu ada buat gue.”
“Jangan bilang gitu lah. Kita kan sahabat. Sahabat yang baik...”
“Gak pernah ninggalin sahabatnya dan selalu ada buat sahabatnya.” Ujar mereka berbarengan.
Tia hanya tersenyum. Tia memberitahu Dion kalau Niken sudah siuman dan meminta tolong Dion membelikan makanan.
“Gitu dong mau makan.” Kata Dion.
Tia menyuapi Niken. Tia senang karena Niken sudah mau makan. Sesekali, Niken balik meyuapi Tia. Niken tahu kalau sahabatnya itu pasti belum makan. Mereka menghabiskan makanan itu berdua. Kadang-kadang mereka tertawa.Dion hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan adiknya dan sahabatnya itu. Dia tahu bahwa Tia sangat sayang kepada Niken. Dan dia sangat senang, adiknya mempunyai sahabat sejati.
Keesokan harinya, Niken , Dion dan Tia menghantar kedua orangtua Dion dan Niken ke perisirahatan terakhir mereka. Niken terlihat meneteskan air mata dan tersenyum. Tia memutuskan untuk membiarkan Niken sendiri. Niken pulang ke rumah setelah prosesi di pemakamannya selesai.
“Nik, kita harus lalui semua ini ya... Kamu gak boleh sedih terus. Kan masih ada kakak. Masih ada Tia juga.” Kata Kak Dion.
“Iya kak.”
Niken masih menghabiskan malamnya dengan menangis. Niken mengingat masa-masa indahnya bersama kedua orangtuanya. Setiap jam, dia hanya menghabiskan waktunya dengan menangis. Niken tidak mau keluar kamar. Panggilan dari Bi Imah pun tidak pernah dihiraukan. Dia sama sekali tidak berniat makan. Badannya sangat kurus. Niken hanya menghabiskan waktunya di ruang keluarga. Bermain playstasion. Hanya itu yang dia lakukan. Tia membiarkan sahabatnya sendiri. Mungkin dia butuh watu sendiri, pikir Tia. Seminggu sudah berlalu, Tia memutuskan untuk pergi ke rumah Niken.
“Bi, Nikennya ada?” Tanya Tia kepada Bi Imah.
“Ada, di ruang keluarga. Non, tolong bujuk non Niken dong.”
“Memangnya Niken kenapa, Bi?” tanya Tia.
“Non Niken belum mau makan. Paling kalo gak susu ya, capucino atau kopi. Saya udah coba bujuk dia. Tapi, gak pernah berhasil non. Den Dion juga udah berusaha ngebujuk. Tapi, tetep aja. Dia gak mau. Kalo gak dia kerjanya maen playstasion terus.”
“Bener, Bi?”
“Iya non. Dia nangis terus.”
“Kak Dion gimana?”
“Dia mau mkan kok. Teratur malah. Cuma dia agak sibuk sekarang. Ngurusin perusahaan almarhum Tuan.”
“Ya udah. Saya temuin Niken dulu ya. Saya pasti bujuk dia untuk makan.” Kata Tia sambil berlalu.
Tia melihat Niken duduk di dekat pintu kaca yang langsung terhubung dengan taman. Ruang keluarga itu sangat penuh dengan barang-barang pecah belah. Foto-foto keluarga Niken. Koleksi-koleksi semua anggota tersebut.
“Nik, lu kenapa gak mau makan?” Tanya Tia.
“Gak nafsu.”
“Makan, please...” Ujar Tia dengan nada memohon.
“Gak.” Jawab Niken cuek.
“Gak boleh. Lu mesti makan Nik!!!”
“Kalo gue gak mau kenapa?! Apa urusan lu?!” bentak Niken.
Tangan Niken memukul lemari kaca yang ada di sebelahnya. Kaca itu pecah seketika dan tangan Niken berdarah. Tia tersentak dengan kelakuan sahabatnya itu.
“Gue udah bilang kan sama lu. GUE GAK MAU MAKAN!!! Gak ngerti Bahasa Indonesia ya lu?!” bentak Niken. Tia mulai mengeluarkan air mata. Belum pernah Niken membentaknya seperti itu.
“Lu gak bakal ngerti perasaan yang gue alami saat ini, Ti. Rasa ditinggalin sama orang yang kita sayang.”
“Gue tahu Nik. Beberapa tahun yang lalu, bokap gue ninggalin gue. Lu masih inget kan? Gue sedih banget waktu itu. Tapi, gue tahu gue mesti bangkit. GUE TAHU RASANYA NIK.” Jerit Tia. “Itu sakit banget Nik. Sekarang aja, gue ngerasa kalo gue ditinggalin sama sahabat gue. Yang paling gue sayang. Gue tahu kalo lw hancur nerima semua ini. Tapi, gue lebih hancur ngeliat lu kayak gini. Sakit hati gue.”
Niken memeluk Tia. Menangis. Tia ikut menangis.
“Sahabat yang baik gak pernah ninggalin sahabatnya dan selalu ada buat sahabatnya.” Ujar Tia diikuti oleh Niken.
“Sekarang lu makan ya.” Kata Tia sambil melepaskannpelukannya.
“Iya.” Balas Niken.
“Nik, tapi luka lu gue obatin dulu ya. Kotak P3K?”
“Minta Bi Imah aja.”
“Iya. Sekalian gue minta makanan buat lu.”
Tia segera keluar dan menemui Bi Imah meminta kotak P3K dan makanan untuk Niken. Bi Imah sangat berterima kasih kepada Tia karena telah berhasil membuat Niken makan. Setelah mendapatkan kotak P3K, Tia kembali ke ruang keluarga.
“Keren ya, Ti. Tangan gue. Hehe. Foto ya.” Canda Niken.
“Masih dibilang keren lagi.” Balas Tia. Syukur deh Niken dah kembali jadi Niken yang gue kenal, pikir Tia. “Udah ah, sini tangan lu.”
Tia membersihkan luka Niken. Setelah bersih, Tia memberikan luka Niken dengan obat merah. Namun, belum sempat Tia mengoleskannya Niken langsung menarik tangannya.
“Gak mau. Perih.” Kata Niken sambil menggelengkan kepala.
“Enggak. Kayak anak kecil deh.”
“Bodo.”
Niken tetap tidak mau memberikan tangannya. Yang ada, sekarang mereka malah kejar-kejaran seperti anak kecil. Tak lama, Bi Imah masuk ke dalam.
“Eh.. Kok malah main kejar-kejaran?” Tanya Bi Imah.
“Itu, Bi. Si Niken gak mau dikasih obat tangannya.” Adu Tia.
“Kenapa gak mau non?” Tanya Bi Imah.
“Perih.” Jawab Niken.
“Ya udah. Sini Bibi yang pakein. Tapi jangan dirasa ya.”
“Gak mau.”
“Gak perih deh. Bibi janji. Gini deh, Bibi bakal turutin apa yang non mau.” Kata Bi Imah.
“Ehm, iya deh.” Ujar Niken sambil tersenyum jahil.
“Nik, gak boleh ngerjain orang tua ya. Dosa.” Ujar Tia seakan dia tahu apa yang dipikirkan Niken.
Niken menghadap Tia. Sedangkan tangannya diarahkan ke samping, dan diobati oleh Bi Imah.
“Nik, liat gue. Jangan dirasain ya.” Ujar Tia.
Niken hanya meringis saat dia merasakan tangannya diolesi obat. Tia hanya menenangkan sahabatnya itu dan mulai mengajak bicara sahabatnya itu. Kadang, Tia membuat sahabatnya itu tertawa terbahak-bahak sehingga melupakan apa yang sedang dialami.
“Udah, non.” Kata Bi Imah.
“Perih gak?” Tanya Tia.
“Enggak.” Jawab Tia sambil tersenyum malu.
“Karena Non Niken udah mau diobatin. Sekarang, non Niken mau apa?” Tanya Bi Imah.
“Ehm.. Niken mau Bibi nembak si Tarjo tuh. Hehe. Ayo Bi.” Kata Niken.
Dia tahu kalau bibinya itu sangat benci dengan Tarjo. Lelaki separuh baya yang menjadi supir di sebelah rumahnya. Namun, Tarjo sangat menyukai bibinya itu.
“Non... Jangan yang itu deh. Yang lain bakal bibi penuhin deh. Asal jangan yang itu.” Pinta Bi Imah dengan muka memelas.
“Ah... Bibi mah...” gerutu Niken “Niken maunya itu.”
“Ya... Non.. Kan tadi Bibi udah bilang. Apa aja boleh, asal jangan yang itu. Ogah Bibi sama sih kambing bandot itu.”
Niken hanya pura-pura cemberut. Namun begitu melihat muka pembantunya itu menjadi muram, ia tertawa terbahak-bahak.
“Hahahaha.. Aku cuma bercanda kali Bi. Aku juga gak mau kali Bibi sama si Bandot itu.
“Ih, si non mah begitu sama Bibi. Awas ya.”
“Hehe. Bi, Niken laper. Udah mau sekarat nih. Bibi buatin nasi goreng kesukaan aku ya. Yang banyak..... Cacingnya udah demo nih.”
“Terang aja, orang lu gak makan seminggu.” Cibir Tia.
“Iya deh. Bibi siapin. Jangan mati dulu ya Non.” Canda Bi Imah. Tia hanya tertawa.
Bi Imah segera keluar menuju dapur dan memasak. Tia menggandeng tangan Niken yang dibungkus perban itu. Niken makan dengan lahap. Bahkan sampai menambah hingga beberapa kali. Tia yang melihat kelakuan sahabatnya itu hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa.
“Dasar badak. Makan gak kira-kira.” Ledek Tia.
“Biarin...” Balas Niken dengan mulut yang penuh makanan.
Setelah makan, mereka berdiri di balkon, menatap ke langit malam. Malam ini, banyak bintang bertaburan dan bulan sangat terang.
“Ti, Bulan itu gue. Bintangnya lu.” Kata Niken.
“Maksud lu?”
“Kita gak bakal terpisahkan Ti. Mau ada hujan atau badai. Kita pasti bakal terus bersama.”
“Iya.”
“Sahabat yang baik gak pernah ninggalin sahabatnya dan selalu ada buat sahabatnya.” Ujar mereka berbarengan.
Tia menginap di rumah Niken. Tia berhasil. Dia berhasil memulihkan sahabatnya itu.

first time :)

pertama kali buat blog. gue gak tau mau nge post apa. mungkin nanti bakal terbiasa. gue seorang cewe, menyukai anak", suka banget sma cappucino :)